Jakarta merupakan salah satu kota
terluas sebagai ibu kota sebuah negara. Pesatnya pembangunan secara
vertikal dan horizontal, menjadikan kota Jakarta sebagai pusat geliatnya
ekonomi Indonesia. Secara geologi, Jakarta duduk di atas lapisan
sedimen yang sangat muda dan terendapkan dalam waktu cepat dalam umur
geologi. Kondisi geologi ini menjadikan Ibu kota negara kita ini sangat
rawan terhadap bencana amblesan tanah (land subsidence). Fenomena alam ini ternyata sudah diketahui sejak tahun 1982 melalui pengukuran leveling,
dan sejak tahun 1997 Bapak Hasanuddin dari Geodesi ITB bersama
kawan-kawan mulai mengamati amblesan Jakarta dengan menggunakan
teknologi GPS Geodetik.
Penyebab utama turunnya tanah di Jakarta
adalah beban bangunan yang begitu besar karena pesatnya pembangunan dan
pengambilan air bawah tanah (sumur bor) yang luar besar. Hal
menyebabkan beban (load) atas batuan sedimen semakin besar
sehingga menyebabkan konsolidasi lapisan tanah di bawahnya.
Konsolidasi
ini diperparah lagi dengan pengambilan air bawah tanah (ground water)
secara besar-besaran oleh semua perkantoran, pabrik, penginapan,
perumahan, dll. Pada gambar di samping ini bisa dilihat kondisi
bagaimana air tertekan yang ada dalam aquifer batuan sedimen bisa
menyebabkan meningkatnya tekanan pori-pori air terhadap butiran
tanah/pasir dan menguatkan tekanan antar butir namun ketika airnya habis
dihisab oleh sumur bor maka butiran tanah/pasir tersebut akan lepas
terpadatkan oleh beban bangunan yang ada di atasnya dan terjadinya
amblesan tanah yang tidak dapat dihindari.
Seperti yang jelaskan sebelumnya,
amblesan tanah Jakarta mulai diketahui sejak 1982 menggunakan pengukuran
leveling, kemudian berkembang dengan adanya GPS Geodetik. Gambar di
bawah ini menunjukkan nilai amblesan di salah satu tempat di kawasan
Cengkareng Barat sebesar -2,55 meter sejak tahun 1982 – 2010. Untuk
mengetahui nilai amblesan pada tahun 2020, 2040, dan 2060, silahkan
lanjutkan grafik tersebut secara linear. Namun laju amblesannya berbeda
di masing-masing tempat.
Setelah
melihat angka yang sangat tidak mengenakkan hati, adakah solusi untuk
permasalahan ini? Solusi untuk permasalahan ini penulis rasa adalah
dengan cara menghentikan penggunaaan air bawah tanah (sumur bor).
Pemerintah DKI melalui Gubernur barunya nanti harus bisa membuat
kebijakan 0% penggunaan air sumur bor dan 100% penggunaan air PDAM.
Konsekuensi dari kebijakan ini adalah pelayanan PDAM yang maksimal dan
bisa memenuhi kebutuhan air kota yang makin berkembang. Selain itu,
pembuatan sumur serapan dan hutan kota juga harus dilakukan. Kebijakan
ini harus segera direalisasikan untuk menghentikan laju amblesan tanah
di Jakarta.
Sumber : http://www.ibnurusydy.com/kota-kota-yang-sedang-tenggelam-i/
0 comments:
Post a Comment